Aroma Cokelat Pertama dan Pahitnya Perpisahan

Setahun setengah lebih telah berlalu sejak takdir mempertemukanku dengan seorang wanita yang terhubung garis keluarga, anak dari pamanku, saudara ibuku. Di era digital ini, sungguh unik mendapati sapaan pertamanya hadir melalui jendela usang Messenger. Pesannya mengalir seolah kami adalah karib lama, sebuah keanehan yang perlahan menjelma kehangatan dalam rentetan obrolan di WhatsApp.

Ketertarikan yang tak terhindarkan membawa kami pada sebuah janji temu. Masih terpatri jelas dalam benakku, sore itu ia menjemputku di kos dengan sebungkus cokelat dan roti di tangan. Sebuah perhatian sederhana yang menyentuh, seolah ia mengerti perut keronconganku. Tujuan kami adalah pusat perbelanjaan di kota tempatku menimba ilmu. Kecemasan akan tatapan mata keluarga yang mungkin mengenali kami berdua menghantuiku sepanjang perjalanan. Namun, secercah ide muncul, pertanyaan কৌশিক tentang keberadaan kakak iparnya menjadi tameng tak terduga yang melindungi kebersamaan kami.

Di tengah riuhnya pusat perbelanjaan, Funworld menjadi saksi bisu kencan pertama kami. Tawa renyah berpadu dengan candaan ringan, menghilangkan segala sekat dan menciptakan keajaiban layaknya dua jiwa yang tengah dimabuk asmara. Sejak saat itu, komunikasi kami kian intens. TikTok, Instagram, bahkan sesekali sapaan singkat melalui pesan di TikTok dan WhatsApp menjadi jembatan penghubung.

Hingga tiba saatnya pertemuan terakhir kami, di sebuah restoran yang berbisik ombak di tepi pantai. Cahaya senja memantul di wajahnya yang penuh tawa, bahkan hal-hal kecil mampu mengundang gelak kebahagiaan di antara kami. Namun, tanpa kusadari, sentuhan tangannya di malam itu adalah perpisahan terakhir sebagai sepasang kekasih. Sebuah kenangan manis yang kini terasa getir, sebuah babak cerita yang sayangnya harus kututup.

Rasa minder, takut, dan kehilangan sosok abang yang begitu mendalam membuatku kehilangan arah. Aku terhanyut dalam kekalutan, tak mampu melihat jalan untuk mempertahankan hubungan yang begitu berharga. Seharusnya aku memohon, mungkin hingga berlutut, untuk memperjuangkan cinta itu. Namun, beban hidup yang terasa terlalu berat membuatku memilih jalan yang salah: melepaskannya.

Kini, hari-hari berlalu dengan kehampaan yang semakin menganga. Aku tak lagi bisa melihat senyumnya yang dulu selalu menjadi penyemangat hidupku, senyum yang selalu menyambutku dalam setiap langkah, baik di tepi pantai yang romantis, di kota tua yang penuh kenangan, maupun di gelapnya malam yang penuh bintang.

Setiap suapan masakannya, setiap puding yang dengan penuh kasih sayang ia berikan, masih terasa jelas di lidahku. Tak pernah sekalipun kata kasar atau keluhan keluar dari bibirnya, meski aku hanya bisa memberikan kesederhanaan. Senyumnya, itu yang paling kurindukan. Senyum yang selalu ia berikan bahkan di saat-saat sulit.

Aku mencoba mencari pengganti, mencoba mengulang momen-momen indah itu dengan orang lain. Namun, hati ini selalu menolak. Tak ada cinta, hanya kekosongan yang semakin menyiksa. Meninggalkannya adalah kebodohan terbesar dalam hidupku, sebuah ego yang akan terus menghantuiku.

Setiap hari, aku menceritakan penyesalan ini kepada sahabatku, Willy. Ia menjadi saksi bisu dari luka yang tak kunjung sembuh ini. Aku berharap, suatu hari nanti, aku bisa menemukan kedamaian dan belajar dari kesalahan ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelabuhan Bersender

Arah Perahu

Kearifan Lokal Masyarakat Samosir