"Tunggu Aku Dua Tahun Saja"
Terkadang, sebuah kisah yang tampak lucu di mata orang lain sejatinya adalah tragedi yang dibungkus dengan senyuman. Seiring waktu berjalan, rasa sakit yang tak terucap perlahan berubah menjadi tawa getir. Entah pasrah, entah benar-benar telah berdamai, atau sekadar lelah merasa sedih.
Kesepian kerap membuat seseorang mencari pelarian. Sejak kehilangan sosok wanita nomor dua dalam hidupku—setelah ibuku—aku jadi sedikit ugal-ugalan. Wanita itu, kebetulan memiliki marga yang sama dengan ibu, dan mungkin itu sebabnya aku merasa sangat dekat dengannya. Dia adalah orang yang mengenalkanku pada indahnya dunia, pada ketenangan yang bisa muncul hanya dari duduk berdampingan tanpa kata.
Berjalan bersamanya dulu rasanya seperti melangkah di bawah cahaya senja—tenang, hangat, dan menenangkan. Tapi semua berubah ketika kami berpisah. Bukan karena rasa yang hilang, tapi karena aku punya janji: untuk tidak mengganggunya sampai aku benar-benar layak, dengan tenggat waktu dua tahun. Sebuah janji yang tidak pernah aku ucapkan padanya, tapi aku pegang kuat dalam hati.
Dia wanita yang lucu, sedikit kasar dalam bicara, tapi sangat lembut dalam tindakan. Dia adalah bahuku ketika dunia terasa berat. Namun aku terlalu sering terlihat sok kuat. Aku tidak pernah benar-benar bercerita banyak padanya. Kami hanya menghabiskan malam dengan duduk bersama, aku bersandar di bahunya, atau menyanyi lagu-lagu yang kami sukai—dari Sheila On 7 sampai Marsada. Saat bersamanya, aku adalah pria kecil yang manja, imut, dan hanya ingin tertidur di pelukannya, melepaskan segala penat.
Dia juga yang mengenalkanku pada game Mobile Legends. Awalnya kupikir aku akan jadi pemain andalan yang bisa menggendongnya dalam permainan, tapi ternyata dia jauh lebih jago dariku. Aku sering jadi beban dalam tim, tapi dia tidak pernah mempermasalahkan itu. Dia hanya ingin bermain bersamaku. Bukan menangnya yang dia cari, tapi kebersamaan kami.
Aku baru sadar betapa berharganya dia ketika aku merasa tak layak lagi untuknya. Dia terlalu hebat untuk seorang sepertiku yang masih dipenuhi ego, masih terlihat kuat di luar padahal rapuh di dalam. Dan mungkin itulah yang jadi faktor utama perpisahan kami. Bukan hanya satu masalah, tapi banyak, termasuk diriku sendiri yang belum selesai dengan luka dan egoku.
Sering kali aku tersenyum sendiri ketika mengingat tawanya—tawa yang lepas, tanpa menjaga imej, yang justru membuatku jatuh cinta berkali-kali. Saat aku melewati tempat-tempat di mana dulu kami tertawa bersama, kenangan itu datang seperti angin sore yang menusuk lembut ke dalam dada. Aku rindu caranya tertawa, caranya menenangkan, caranya menjadi rumah.
Dan kalau kau sedang membaca ini—aku tahu aku belum pantas untuk kembali. Tapi tolong, tunggulah aku. Dua tahun saja. Aku sedang memperbaiki diriku, untuk kembali padamu sebagai pria yang lebih baik. Bukan lagi yang hanya bersandar dan tertidur di bahumu, tapi yang bisa berdiri di sampingmu dan menjadikanmu wanita terakhir dalam hidupku.
Komentar
Posting Komentar