Postingan

Dinding Bisuku

Di balik bisunya dinding kamar ini, Rindu membentang, tak bertepi. Tangan membayang, ingin menggenggam erat, Menepis takut, kau kan menghilang lagi sesaat. Namun bibir kelu, kata terpendam, Mata tertunduk, pilu mendalam. Setelah berlalu, kulihat dari jauh, Tatapan berbeda, hati pun merapuh. Layakkah diri, tanya berulang kali, Untuk nanti, setelah memperbaiki diri? Mimpi semalam, pelukmu kurasa, Namun terjaga, oleh ketukan nestapa. Mungkin ini dosa, yang harus kutanggung, Atas khilaf dulu, kalbuku merenung. Berharap kelak, saat diri tlah berbeda, Layak ku hadir, di sisimu berada. Kan kuceritakan, gelapnya hari tanpamu, Pedihnya jiwa, merindukan hadirmu. Namun janji kukuh, takkan mengganggu, Hingga pantas diri, untuk bersamamu. Tunggulah cerita, yang ingin kubagi, Tenanglah sayang, takkan abadi sepi. Salam rinduku, menjelma perumpamaan, Kisah penantian, dalam kesunyian.

Rindu Tak Terucap

Di batas dinding, mata ini terpaku, Menatap hadirmu, wahai jelita kalbuku. Senyummu merekah, di pipi yang tak lekang, Tawa yang dulu, kini bagai tembang. Namun, bibir membisu, kata tak berani, Menyapa netramu, takut menghantui. Bayang kesalahan, di benak membayang, Rindu membuncah, hati kian meradang. Kupaksa langkah menjauh, dari indah rupawan, Yang dulu bahagiakan, kini jadi puing penyesalan. Maaf, terucap lirih, dalam sunyi yang kelam, Atas segala khilaf, yang dulu menerkam. Pelukmu yang hangat, tawa yang kurindu, Bahkan air matamu, kini sesakkan kalbu. Aku bersalah, atas setiap tetes duka, Maaf dan maaf, hanya itu yang kubisa. Dalam gelap malam, rindu kutahan, Sebagai penebusan, atas luka yang kurasakan. Kelak, di waktu yang tepat, kita kan bertemu, Ku harap maafmu hadir, sambut cintaku.
satu setengah tahun lebih aku menjadi kenal dekat dengan sosok wanita itu. waqnita yang sebenarnya masih menjadi bagian dari keluarga (anak dari pamanku atau saduara ibuku ). enttah kenapa ditahun itu masih ada wanita yang notabene tau style masih emnggunakan messenger untuk mengirim pesan. dia mengirimin aku pesan seakan akan kami itu dekat, awal mnya aku merasa agak aneh hingga chat itu keterusan sampai di whatsapp. tak terasa obrolan begitu hangat sehingga kami membuat janji untuk bertemu dan anehnya dia yangjemput aku kekost saat itu aku sangat ingat oleh oleh apa yang dia belikan untukku yaitu coklat dan roti, mungkin dia berpikiran aku belum makan dan untuk mengganjal dia bawakan roti tersebut. kami pun berangkat menuju pusat perbelanjaan dikota tepat aku kuliah aku sangat takut kala itu jika kami ketahuan jalan bareng dengan keluarga dia. sampai suatu ide tercetus untuk menanyakan keberaadaan kakak ipar dia. Untungnya hari berpihak pada kami. hal yang pertama kali lakukan dipusa...

Aroma Cokelat Pertama dan Pahitnya Perpisahan

Setahun setengah lebih telah berlalu sejak takdir mempertemukanku dengan seorang wanita yang terhubung garis keluarga, anak dari pamanku, saudara ibuku. Di era digital ini, sungguh unik mendapati sapaan pertamanya hadir melalui jendela usang Messenger. Pesannya mengalir seolah kami adalah karib lama, sebuah keanehan yang perlahan menjelma kehangatan dalam rentetan obrolan di WhatsApp. Ketertarikan yang tak terhindarkan membawa kami pada sebuah janji temu. Masih terpatri jelas dalam benakku, sore itu ia menjemputku di kos dengan sebungkus cokelat dan roti di tangan. Sebuah perhatian sederhana yang menyentuh, seolah ia mengerti perut keronconganku. Tujuan kami adalah pusat perbelanjaan di kota tempatku menimba ilmu. Kecemasan akan tatapan mata keluarga yang mungkin mengenali kami berdua menghantuiku sepanjang perjalanan. Namun, secercah ide muncul, pertanyaan কৌশিক tentang keberadaan kakak iparnya menjadi tameng tak terduga yang melindungi kebersamaan kami. Di tengah riuhnya pusat perbel...

"Tunggu Aku Dua Tahun Saja"

Terkadang tawa hanyalah kedok, Tragedi yang belajar tersenyum dalam sunyi, Kisahku dan dia—bukan sekadar komedi, Tapi pelajaran tentang cinta dan kehilangan diri. Sejak dia pergi, aku bukan aku lagi, Langkahku limbung, jalanku tak pasti, Wanita nomor dua dalam hidupku, Setelah ibu, dia yang tunjukkan indahnya dunia. Dia bicara tajam, tapi hatinya lembut, Menjadi pelabuhan kala badai memeluk, Tapi aku terlalu sering diam, Terlalu sering pura-pura kuat, Padahal, di sisinya, aku cuma pria kecil Yang ingin bersandar dan tertidur di peluknya. Kami tak perlu banyak kata, Hanya lagu, senja, dan kebersamaan yang sederhana, Dari SO7 ke Marsada, Dari diam ke tawa lepas tanpa jaga citra. Dia ajak aku bermain, Bukan hanya game, tapi hidup yang ringan, Dia tak peduli aku kalah, Karena baginya, cukup duduk bersamaku saja. Lalu aku sadar—aku belum layak. Bukan karena cinta yang pupus, Tapi karena diri yang belum utuh. Maka aku berjanji, dalam diam, Akan kembali padanya dala...

"Tunggu Aku Dua Tahun Saja"

Terkadang, sebuah kisah yang tampak lucu di mata orang lain sejatinya adalah tragedi yang dibungkus dengan senyuman. Seiring waktu berjalan, rasa sakit yang tak terucap perlahan berubah menjadi tawa getir. Entah pasrah, entah benar-benar telah berdamai, atau sekadar lelah merasa sedih. Kesepian kerap membuat seseorang mencari pelarian. Sejak kehilangan sosok wanita nomor dua dalam hidupku—setelah ibuku—aku jadi sedikit ugal-ugalan. Wanita itu, kebetulan memiliki marga yang sama dengan ibu, dan mungkin itu sebabnya aku merasa sangat dekat dengannya. Dia adalah orang yang mengenalkanku pada indahnya dunia, pada ketenangan yang bisa muncul hanya dari duduk berdampingan tanpa kata. Berjalan bersamanya dulu rasanya seperti melangkah di bawah cahaya senja—tenang, hangat, dan menenangkan. Tapi semua berubah ketika kami berpisah. Bukan karena rasa yang hilang, tapi karena aku punya janji: untuk tidak mengganggunya sampai aku benar-benar layak, dengan tenggat waktu dua tahun. Sebuah janji ya...

Akhir Cerita Perahu dan Pelabuhan Megah

 Kisah kita sebelumnya telah berakhir. Perahu itu akhirnya pergi meninggalkan pelabuhan dengan perasaan bangga dan lega. Ia menyadari bahwa pelabuhan megah itu bukanlah tempatnya. Sayangnya, penyesalan datang terlambat. Kayu-kayunya mulai lapuk, benderanya lusuh, dan ia baru sadar bahwa pelabuhanlah yang selama ini menjaganya. Perjalanan keluar dari pelabuhan tidaklah mudah. Kerusakan demi kerusakan ia alami hingga akhirnya menyadari kesalahannya. Ia tidak bisa terus merepotkan pelabuhan. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk berlayar sendiri, mencari pelabuhan baru. "Maaf," gumamnya dalam hati. Ia tahu, permintaan pelabuhan hanyalah sebuah candaan, namun ia juga sadar bahwa dirinya tidak pantas berada di sana. Ia berjanji akan memperbaiki perahu dalam waktu dua tahun. Jika gagal, ia tidak akan pernah kembali. Sampai saat ini, pelabuhan itu adalah yang terbaik. Bukan karena kemewahannya, melainkan kenyamanan dan keamanan yang pernah ia rasakan. Perjalanan panjang telah mem...